Mertua Dengki Milihatku Bahagia
Medialiterasi.web.id Selamat datang di blog saya yang penuh informasi terkini. Pada Kesempatan Ini aku mau menjelaskan berbagai manfaat dari novel,Rumah Tangga. Ulasan Artikel Seputar novel,Rumah Tangga Mertua Dengki Milihatku Bahagia Lanjutkan membaca untuk mendapatkan informasi seutuhnya.
- 1.1.
- 2.1. MERTUA DENGKI MELIHATKU BAHAGIA
- 3.1. Bab 1
Table of Contents
MERTUA DENGKI MELIHATKU BAHAGIA
Bab 1
Nasib Numpang di Mertua
"Nisa, itu yang di dalam tas apaan? Pakaian kalian? Mau dilaundry lagi?" Ibu mertuaku tiba-tiba muncul di depan pintu kamarku.
Baru saja aku hendak membawa keluar dari kamar setumpuk
pakaian yang sudah kukemas dalam tas jinjing besar berwarna merah itu menuju
laundry langgananku, eh, ibu mertuaku malah memergoki. Apes, pikirku. Pasti
bakal jadi masalah lagi.
"Iya, Bu. Aku nggak sempat nyuci soalnya. Toko rame
terus dari pagi ampe malem."
Mata ibu mertuaku langsung mendelik. Wanita paruh baya
berusia 60 tahun itu langsung berkacak pinggang.
"Nis, kamu tuh baru tiga bulan ngerintis usaha, kok
bisa-bisanya udah berlagak kaya konglomerat aja, sih?!"
Suara ibu mertuaku meninggi. Bu Endang, ibu dari suamiku itu
terlihat sangat emosi. Seakan-akan aku bakalan menguras hartanya untuk membayar
laundry yang tak seberapa ini.
"Mbok ya kamu itu bisa hidup hemat! Prihatin dikit
napa, Nis? Kamu itu asalnya dari orang susah! Usaha baru naik dikit, malah
sok-sokan ngelaundry. Nggak usah! Pokoknya itu cucian kamu, suamimu, sama
anakmu, cuci sendiri!"
Panas hatiku mendengarnya. Padahal, selama aku ngelaundry
pakaian, tak pernah sekali pun aku meminta uangnya suami. Apalagi uang ibu
mertuaku. Kok, dia bisa sesewot ini, ya?
"Bu, bukannya sok-sokan. Tapi, aku beneran udah nggak
ada tenaga lagi, Bu. Capek banget ngelayanin pelanggan di tokoku. Mana hari ini
aku juga harus bongkar bal baru. Udah ya, Bu. Aku pergi nganter pakaian
dulu," kataku ingin menyudahi pertikaian tak penting ini.
Bukannya membiarkan aku pergi, eh, ibu mertuaku malah
semakin nyolot. Tangannya mencekal pergelangan tanganku, sementara matanya
makin melotot besar.
"Eh, Nisa! Kamu ini tuli apa gimana, sih? Nggak denger
apa kataku tadi? Sekali nggak boleh, ya nggak boleh!" hardiknya buas.
Aku sampai kaget. Mendadak anakku yang semula masih terlelap
di kamar bersama suamiku, malah terbangun dan menghambur ke depan pintu.
"Mamah, ada apa, Mah?" tanya Alina, putri semata
wayangku yang berusia 5 tahun.
"Nis, kenapa sih, pagi-pagi buta begini udah
ribut?" Suamiku menimpali.
Lihatlah Mas Raka. Jam tujuh lewat seperempat pagi, malah
dia bilang pagi buta. Dengan seenaknya dia baru bangun dan ujug-ujug memasang
muka tak terima karena mendengar teriakan dari ibunya.
"Ini aku mau nganter laundry, Mas. Terus abis nganter
laundry, aku mau beliin sarapan buat kalian dan langsung ke toko buat bongkar
bal kaos thrift. Ibu malah marah. Katanya aku sok kaya cuma gara-gara
ngelaundry. Padahal ini kan duitku. Nggak minta duitnya Mas Raka atau duitnya
Ibu." Kujawab suamiku apa adanya, tapi muka Mas Raka malah memerah
layaknya kepiting rebus.
"Eh, lancang kamu, ya! Baru bisa cari duit nggak
seberapa aja udah berani bicara begitu sama aku!" maki Ibu dengan mata
menyala-nyala.
"Kamu inget nggak Nisa, kami memungutmu dari anak yatim
miskin yang tinggal di kontrakan sempit, sampai kamu bisa tinggal di rumah
segede ini. Aku yang biayain resepsi kalian, sampai biaya lahiran anakmu juga
aku yang bayar! Giliran usahamu baru nanjak berapa bulan ini aja, kamu lagaknya
selangit! Dasar miksin! Cuih!"
Tanpa kuduga, ibu mertuaku yang seorang pensiunan PNS itu
malah meludahi wajahku.
"Nena, jangan sakitin Mamah! Mamahnya Alina nggak
salah!" jerit Alina menegur neneknya yang dia panggil dengan sebutan nena.
"Heh, anak kecil nggak usah ikut campur!" pekik
Ibu lagi. "Raka, bawa anakmu masuk. Biar istrimu Ibu yang ajari."
Bu Endang malah menarik tanganku keluar kamar dan suamiku
bukannya membelaku, tapi malah menutup pintu rapat-rapat dari dalam. Teriakan
anakku yang minta keluar kamar pun terdengar memilukan.
"Aduh, pagi-pagi udah ribut! Muak banget rasanya
tinggal di rumah ini!"
Sebuah suara tiba-tiba muncul. Saat kutengok, rupanya bapak
mertuaku muncul dari arah kamarnya di depan sana. Muka pria 64 tahun yang juga
seorang pensiunan itu tampak merah padam. Rambutnya masih berantakan, khas
orang baru bangun tidur.
"Nisa, tiap hari ada aja ulah kamu! Kamu ini sebenarnya
masih mau tinggal di sini nggak? Udah syukur dikasi numpang di rumah mertua.
Eh, malah bikin ribut terus!" Kali ini bapak mertuaku yang menuding.
Kemarahan pasutri tua bangka ini sungguh telah menyulut emosiku.
"Heh, kalau orang ngomong itu disautin! Malah diem!
Dasar bloon!" maki ibu mertuaku.
Kupikir aku akan tetap bersabar dalam menghadapi mereka.
Namun, ternyata aku salah. Kala tangan ibu mertua naik ke udara, di saat itulah
kesabaranku habis.
"Kalian pikir, cuma kalian yang muak di sini? Aku juga
muak sama kalian. Aku juga udah nggak sudi tinggal di sini. Kalian semua toxic!
Kalian pikir, aku bakalan jadi gembel kalau keluar dari sini?!"
Kuempaskan tangan mertuaku yang tadi sempat hendak
mendaratkan tamparan ke pipiku.
Sontak, wajah kedua mertuaku pias. Mereka berdua tampak
pucat pasi tak berkutik. Mereka berdua pikir, selama ini aku diam, itu artinya
aku akan selama-lamanya tunduk?
Bersambung
Baca cerita selengkapnya di aplikasi KBM App
Judul: Mertua Dengki Melihatku Bahagia
Penulis: Meisya Jasmine
Link ada di kolom komentar
Begitulah mertua dengki milihatku bahagia yang telah saya jelaskan secara lengkap dalam novel,rumah tangga, Terima kasih telah membaca hingga akhir cari inspirasi dari alam dan jaga keseimbangan hidup. Jika kamu peduli jangan lewatkan artikel lainnya. Terima kasih.
✦ Tanya AI